Thursday, August 13, 2020

Beriman Kepada Ayat-Ayat Mutasyabihat Serta Peranan Akal Dalam Memahaminya


Di dalam Al Qur'an ada terdapat ayat-ayat yang muhkam yaitu ayat-ayat yang konteksnya tegas mudah Dan langsung difahami namun pada sisi lain ada juga ayat-ayat yang mengandung kemungkinan dan tidak diketahui oleh kecuali Allah Ta'ala saja.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Ali Imran ayat 7:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ 

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Adapun makna (المتشابه) menurut tafsir Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair yakni ayat yang ada kemungkinan untuk diubah, diganti, atau ditakwilkan dari makna yang sebenarnya. Dan ayat yang mempunyai makna yang tersembunyi, tidak jelas, menimbulkan kemungkinan-kemingkinan, atau terdapat keraguan menjadikan ayat ini termasuk dalam ayat mutasyabih.

Dalam tafsir karimirrahman disebutkan bahwa Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membacakan ayat di atas, Dan bersabda,

فَإِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهًمْ 

"Apabila kalian melihat orang-orang yang mencari ayat-ayat mutasyabihat, mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka berhati-hatilah."

Jumhur ahli tafsir mewaqfkan sampai ayat ini, namun yang lain menyambung dengan kata-kata "wa raasikhuun…dst." Kedua-duanya masih mengandung kemungkinan benar, jika maksud "ta'wil" di sini adalah mengetahui hakikatnya, maka yang benar adalah waqf sampai "illallah", karena yang mengetahui hakikatnya adalah Allah saja. 

Misalnya hakikat sifat Allah, hakikat sifat-sifat yang terjadi pada hari akhir dsb. Hal ini, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, tidak boleh bagi seseorang memberanikan diri mengkaifiyatkannya. Oleh karena itu, Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang firman Alllah "Ar Rahmaanu 'alal 'arsyis tawaa" (Allah bersemayam di atas 'Arsy) bagaimana bersemayam-Nya?" Maka ia menjawab, "Bersemayam adalah kata yang sudah diketahui, bagaimananya adalah majhul (tidak diketahui), mengimaninya wajib dan menanyakannya bid'ah." Demikianlah yang harus dikatakan dalam ayat-ayat sifat, yakni bahwa sifat tersebut diketahui, namun kaifiyatnya majhul. Orang-orang yang ilmunya mendalam, mengimaninya dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah.

Dimana kedudukan akal?

Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan mengatakan:

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. Dengan kata lain hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat memahami dan mengerti maknanya secara benar.

Jadi, ada saatnya akal yang terbatas wajib tunduk terhadap wahyu karena akal tidak dipakai untuk mendudukan wahyu yang mutasyabihat.

Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Yakni kaidahnya adalah mengimani dan menerima serta patuh terhadap nash-nash baik yang sudah dijangkau akal maupun yang belum dijangkau disebabkan oleh keterbatasan pemahaman dan ilmu kita diatas ilmu Allah Ta'ala Yang Maha Luas.

وَقَالُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ

Kami dengar dan kami taat".

(Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali"

Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar mengatakan:

...وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ 

Ummat ini adalah ummat yang mengikuti perintah, maka ketika Alllah datangkan kepadanya akal sehat yang menunjukkan kepada kebenaran Rasul-Nya dan kebenaran kitab-Nya, maka sesungguhnya ummat ini tidak akan membantah dalil-dalil yang didatangkan kepada mereka dengan akal yang mereka punya, justru mereka akan mendengarnya dan taat kepadanya.

 ...غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ.

 Ketika mereka mengetahui bahwa mereka belum mencapai tingkatan keimanan yang sebenarnya dengan ketaatan dan kepatuhan mereka, mereka kemudian memohon kepada tuhannya ampunan yang merupakan itulah tujuan utama dari kebahagiaan dan akhir dari kesempurnaanya, karena sesugguhnya tujuan seorang mukmin adalah ampunan dari Allah ta'ala.

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk orang-orang mukmin yang mengimani dan mematuhi ayat-ayat Allah Ta'ala baik yang muhkamat maupun yang mutasyabihat.

No comments:

Post a Comment