Friday, March 20, 2020

Menahan lisan dari sifat pengutuk, pencela dan pencaci

Islam is the only one true religion in the world but we must criticize the attitude of certain Muslim people because of their lack of knowledge about Islam.

Semoga Allah Ta'ala membaguskan akhlak kita dan menjauhkan lisan kita dari perkara yang dapat menyakitkan hati orang lain terutama lagi terhadap sesama muslim. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda seorang muslim yang tulen ialah orang yang selamat orang Muslim lainnya dari lisannya dan tangannya dan orang yang berhijrah ialah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.

Adapun terhadap orang kafir hendaknya tetap bersifat adil dan bijaksana dalam mengingkari kesalahan mereka. Tidak menumpahkan semua sumpah serapah kepada mereka.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya; 
Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, melaknat(mengutuk) bukan pula yang keji akhlak nya dan bukan juga yang kotor perkataan nya.

Terkadang Menyelesihi Jumhur Dalam Perkara Ijtihadiyah Pada Keadaan Tertentu Adalah Tidak Tepat

Sebaiknya pendapat dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang agak aneh di tengah-tengah masyarakat ditinggalkan dan tidak disebarkan jika ada pendapat jumhur ulama yang mu'tabar dan telah menjadi aturan pemerintah setempat. Sebagaimana kaidah para ulama yang pernah disebutkan oleh Fadhilatu Asy-Syaikh Saad Al Khatslan hafizhahullah bahwa jika ada khilafiyah dalam masalah ijtihadiyah maka selayaknya mengambil pendapat jumhur ulama. 

Berkaitan dengan fatwa dan aturan lockdown, beliau menyebutkan bahwa penutupan masjid sementara adalah masalah ijtihadiyah karena melihat maslahatnya lebih besar. Seperti halnya ijtihadiah dalam masalah pemilihan umum, aksi damai di negara-negara yang menganut kebebasan publik, imunisasi dan lain-lain. Semuanya dibangun diatas pertimbangan mashlahat dan mudhorat.

Walaupun demikian kita tetap perlu bersabar menghadapi orang yang bersebelahan pendapat dengan kita dengan kepala dingin dengan menjelaskan dan meg-edukasi hakikat kemudharatan yang bakal terjadi jika fatwa aneh tersebut diterapkan.

Sebagai suatu catatan sehubungan dengan penyebaran fatwa Syaikh Ahmad Al Kuriy Al Mauritani hafizhahullah yang diviralkan tentang tidak disyariatkannya menghentikan sholat jamaah dan sholat jumat disaat wabah corona maka perlu diketahui suatu fenomena besikeras dengan pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur yang telah menjadi menjadi aturan pemerintah adalah hal yang tidak tepat.

Seperti contoh lainnya sebagian orang mendengungkan fatwa hukum sunnat-nya memakai niqab (fatwa bolehnya membuka muka bagi wanita), bolehnya pakaian selain hitam bagi wanita, kebolehan menyetir bagi perempuan, hukum sunnat berjamaah bagi laki-laki dll, ketika telah diyakini jumhur dan telah dipraktekkan dalam aturan baku setempat sebagai suatu kewajiban misalnya wanita muslimah memakai niqab, abaya yang berwarna hitam dan larangan menyetir perempuan.

Ternyata kemudhoratan fatwa-fatwa yang menyelisihi jumhur tersebut baru terasa dikemudian hari ketika para golongan yang memperturutkan hawa nafsu mulai memiliki kedudukan dan tempat penting yang bertujuan untuk meminimalisir aplikasi syariat Islam di masyarakat. Karena mereka hanya mencari-cari rukhshah (keringanan) dalam agama agar tidak menjalankan syariat.

Demikian halnya dalam hal keadaan yang berlaku sekarang ini jika jumhur ulama memfatwakan penutupan sementara masjid-masjid dan keramaian lalu pemerintah sudah menetapkan aturan serupa kemudian ada sebagian orang menyebarkan fatwa yang menyelisihinya maka ini adalah kesalahan fatal. Karena ini menyangkut masalah jamai (kolektif) bukan fardi (individu). 

Sama juga dengan orang yang walaupun sudah melihat hilal lalu tidak diterima persaksiannya oleh pemerintah maka tidak boleh ia menyebar hasil ru'yah pribadinya. Imam Ibnu Taimiah rahimahullah mengatakan dia wajib diam dan tetap berpuasa mengamalkan pendapatnya secara pribadi tanpa meragu-ragukan orang kebanyakan karena ini terkait masalah persatuan dan kemashlahatan bersama.

Contoh lain jika ada yang melawan aturan mengatakan FPI itu tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau musik masalah ijtihadiyah tapi ternyata setelah dikurangi peranannya ternyata justru konser-konser barat yang diperkenalkan yang lebi memberikan dampak negative kepada tatanan budaya masyarakat. Maka muncullah mudhorat yang lebih besar. Maha suci Allah, Islam memang adalah agama preventif dan selalu mencegah kemudharatan dan mengedepankan kemashlahatan.

Wallahu a'lam.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa karuniakan kepada kita sifat-sifat hikmah dan kefakihan dalam beragama. Semoga Allah Ta'ala segera mengangkat dan menolak wabah corona dan penyakit buruk lainnya dari ummat ini.

Wednesday, March 18, 2020

Nasihat itu datang dari hati dan akan masuk ke hati juga...

Tidak ada masalah jikalau orang memilih ustadz atau syaikh atau guru tertentu untuk didengarkan dan dijadikan rujukan dalam masalah fatwa karena hal itu sudah menjadi sunnatullah bahwa hati orang akan cenderung pada orang yang dicintainya. Sebagai suatu contoh; salah satu yang membuat Ust Muhammad Yusran Anshar hafizhahullah disukai dan didengarkan kebanyakan orang karena nasihat beliau terasa mengalir dari hati ke hati.... Lebih dahulu dari itu misalnya ada yang lebih cenderung pada pendapat Imam Ibnu Baz rahimahullah dan yang lain ada yang condong pada pendapat Imam Al Albani rahimahullah. Ini suatu hal yang fitrah. Dan hal ini juga tidak berarti bahwa semua dari ustadz atau ulama fulan itu benar. Contoh praktis dalam hal ini seperti pada masalah memilih pendapat fiqh sholat diantara kedua alim misalnya; saya lebih condong pada kebanyakan pendapat Imam Ibnu Baz rahimahullah tetapi pada pendapat turun sujud dan masalah sutrah (pembatas sholat) saya lebih condong pada pendapat Imam Albani rahimahullah. Dan sekali-kali ini hanyalah permisalan sederhana untuk meng-kongkritkan kasus ini. Dan tidak boleh ada pengingkaran dengan orang lain yang berselisih dengan saya selama ia memiliki hujjah atau taklid kepada ulama atau ustadz fulan.

Dinukilkan suatu faidah perkataan pensyarah  hadits tentang niat innamal a'malu binniat bahwa sesuatu yang datang dari hati akan mudah masuk ke hati juga. Dan tentu saja hanya Allah Ta'ala jualah yang Maha Mengetahui hati sekalian hamba-hamba-Nya namun kita hanya menghukumi dari yang dhohir.

Demikian halnya dalam kaidah ushul fiqh, kita hendaknya memilih pendapat atau fatwa disaat bertaqlid pada seorang alim yang hati kita lebih cenderung kepadanya dengan melihat ketakwaannya, alimnya, zuhudnya, wara'nya dan lain-lain dari segi agamanya. Namun bukan berarti kita menafikkan ketakwaan yang selainnya cuma perkara tersebut menyangkut masalah hati ke hati.

Memang disitulah fitnah hasad muncul dikala seorang alim atau penuntut ilmu atau dai tertentu mendapatkan perhatian yang besar dari murid-muridnya sementara yang lainnya tidak demikian. Dan ujian itu berat, sehingga timbul lah kemasan-kemasan indah atas nama tahdzir, boikot dan jarh watta'dil namun hanya mengungkapkan rasa dengki yang terpendam selama ini. Padahal kalau kita menelaah kisah-kisah Imam Syafii dan Imam Ahmad sebagai sesama alim dan mujtahid maka kita akan mendapati mereka selalu mengakui keutamaan satu sama lainnya. Kata Imam Syafii rahimahullah saya keluar dari Baghdad dan saya tidak melihat Imam Ahmad rahimahullah melainkan orang yang lebih bertakwa, alim, zuhud dan wara' padahal Imam Syafii adalah seorang yang alim juga ahli hadits dan imam ushul fiqh.

Namun perlu diperhatikan adab penuntut ilmu serta pecinta ilmu dan ulama selayaknya mereka tidak memperhadap-hadapkan serta memperlagakan para ulama atau ustadz yang satu dengan yang lainnya. Ini adalah salah satu diantara adab dalam berinteraksi (ta'amul) dengan para ulama, ustadz, dai atau orang yang lebih alim dari kita. Dan salah satu makna yang terkandung dalam hadits dagingnya para ulama beracun. Yang terlarang adalah sifat berlebih-lebihan (ghuluw), fanatik buta(ta'assub) dengan orang yang dikagumi sehingga menghalangi untuk menerima kebenaran dari orang lain.

Semoga Allah Taala senantiasa menjaga para ulama kita dan memperindah akhlak kita dalam bermuamalh dengan mereka.