Friday, March 20, 2020

Terkadang Menyelesihi Jumhur Dalam Perkara Ijtihadiyah Pada Keadaan Tertentu Adalah Tidak Tepat

Sebaiknya pendapat dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang agak aneh di tengah-tengah masyarakat ditinggalkan dan tidak disebarkan jika ada pendapat jumhur ulama yang mu'tabar dan telah menjadi aturan pemerintah setempat. Sebagaimana kaidah para ulama yang pernah disebutkan oleh Fadhilatu Asy-Syaikh Saad Al Khatslan hafizhahullah bahwa jika ada khilafiyah dalam masalah ijtihadiyah maka selayaknya mengambil pendapat jumhur ulama. 

Berkaitan dengan fatwa dan aturan lockdown, beliau menyebutkan bahwa penutupan masjid sementara adalah masalah ijtihadiyah karena melihat maslahatnya lebih besar. Seperti halnya ijtihadiah dalam masalah pemilihan umum, aksi damai di negara-negara yang menganut kebebasan publik, imunisasi dan lain-lain. Semuanya dibangun diatas pertimbangan mashlahat dan mudhorat.

Walaupun demikian kita tetap perlu bersabar menghadapi orang yang bersebelahan pendapat dengan kita dengan kepala dingin dengan menjelaskan dan meg-edukasi hakikat kemudharatan yang bakal terjadi jika fatwa aneh tersebut diterapkan.

Sebagai suatu catatan sehubungan dengan penyebaran fatwa Syaikh Ahmad Al Kuriy Al Mauritani hafizhahullah yang diviralkan tentang tidak disyariatkannya menghentikan sholat jamaah dan sholat jumat disaat wabah corona maka perlu diketahui suatu fenomena besikeras dengan pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur yang telah menjadi menjadi aturan pemerintah adalah hal yang tidak tepat.

Seperti contoh lainnya sebagian orang mendengungkan fatwa hukum sunnat-nya memakai niqab (fatwa bolehnya membuka muka bagi wanita), bolehnya pakaian selain hitam bagi wanita, kebolehan menyetir bagi perempuan, hukum sunnat berjamaah bagi laki-laki dll, ketika telah diyakini jumhur dan telah dipraktekkan dalam aturan baku setempat sebagai suatu kewajiban misalnya wanita muslimah memakai niqab, abaya yang berwarna hitam dan larangan menyetir perempuan.

Ternyata kemudhoratan fatwa-fatwa yang menyelisihi jumhur tersebut baru terasa dikemudian hari ketika para golongan yang memperturutkan hawa nafsu mulai memiliki kedudukan dan tempat penting yang bertujuan untuk meminimalisir aplikasi syariat Islam di masyarakat. Karena mereka hanya mencari-cari rukhshah (keringanan) dalam agama agar tidak menjalankan syariat.

Demikian halnya dalam hal keadaan yang berlaku sekarang ini jika jumhur ulama memfatwakan penutupan sementara masjid-masjid dan keramaian lalu pemerintah sudah menetapkan aturan serupa kemudian ada sebagian orang menyebarkan fatwa yang menyelisihinya maka ini adalah kesalahan fatal. Karena ini menyangkut masalah jamai (kolektif) bukan fardi (individu). 

Sama juga dengan orang yang walaupun sudah melihat hilal lalu tidak diterima persaksiannya oleh pemerintah maka tidak boleh ia menyebar hasil ru'yah pribadinya. Imam Ibnu Taimiah rahimahullah mengatakan dia wajib diam dan tetap berpuasa mengamalkan pendapatnya secara pribadi tanpa meragu-ragukan orang kebanyakan karena ini terkait masalah persatuan dan kemashlahatan bersama.

Contoh lain jika ada yang melawan aturan mengatakan FPI itu tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau musik masalah ijtihadiyah tapi ternyata setelah dikurangi peranannya ternyata justru konser-konser barat yang diperkenalkan yang lebi memberikan dampak negative kepada tatanan budaya masyarakat. Maka muncullah mudhorat yang lebih besar. Maha suci Allah, Islam memang adalah agama preventif dan selalu mencegah kemudharatan dan mengedepankan kemashlahatan.

Wallahu a'lam.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa karuniakan kepada kita sifat-sifat hikmah dan kefakihan dalam beragama. Semoga Allah Ta'ala segera mengangkat dan menolak wabah corona dan penyakit buruk lainnya dari ummat ini.

No comments:

Post a Comment