Wednesday, March 18, 2020

Nasihat itu datang dari hati dan akan masuk ke hati juga...

Tidak ada masalah jikalau orang memilih ustadz atau syaikh atau guru tertentu untuk didengarkan dan dijadikan rujukan dalam masalah fatwa karena hal itu sudah menjadi sunnatullah bahwa hati orang akan cenderung pada orang yang dicintainya. Sebagai suatu contoh; salah satu yang membuat Ust Muhammad Yusran Anshar hafizhahullah disukai dan didengarkan kebanyakan orang karena nasihat beliau terasa mengalir dari hati ke hati.... Lebih dahulu dari itu misalnya ada yang lebih cenderung pada pendapat Imam Ibnu Baz rahimahullah dan yang lain ada yang condong pada pendapat Imam Al Albani rahimahullah. Ini suatu hal yang fitrah. Dan hal ini juga tidak berarti bahwa semua dari ustadz atau ulama fulan itu benar. Contoh praktis dalam hal ini seperti pada masalah memilih pendapat fiqh sholat diantara kedua alim misalnya; saya lebih condong pada kebanyakan pendapat Imam Ibnu Baz rahimahullah tetapi pada pendapat turun sujud dan masalah sutrah (pembatas sholat) saya lebih condong pada pendapat Imam Albani rahimahullah. Dan sekali-kali ini hanyalah permisalan sederhana untuk meng-kongkritkan kasus ini. Dan tidak boleh ada pengingkaran dengan orang lain yang berselisih dengan saya selama ia memiliki hujjah atau taklid kepada ulama atau ustadz fulan.

Dinukilkan suatu faidah perkataan pensyarah  hadits tentang niat innamal a'malu binniat bahwa sesuatu yang datang dari hati akan mudah masuk ke hati juga. Dan tentu saja hanya Allah Ta'ala jualah yang Maha Mengetahui hati sekalian hamba-hamba-Nya namun kita hanya menghukumi dari yang dhohir.

Demikian halnya dalam kaidah ushul fiqh, kita hendaknya memilih pendapat atau fatwa disaat bertaqlid pada seorang alim yang hati kita lebih cenderung kepadanya dengan melihat ketakwaannya, alimnya, zuhudnya, wara'nya dan lain-lain dari segi agamanya. Namun bukan berarti kita menafikkan ketakwaan yang selainnya cuma perkara tersebut menyangkut masalah hati ke hati.

Memang disitulah fitnah hasad muncul dikala seorang alim atau penuntut ilmu atau dai tertentu mendapatkan perhatian yang besar dari murid-muridnya sementara yang lainnya tidak demikian. Dan ujian itu berat, sehingga timbul lah kemasan-kemasan indah atas nama tahdzir, boikot dan jarh watta'dil namun hanya mengungkapkan rasa dengki yang terpendam selama ini. Padahal kalau kita menelaah kisah-kisah Imam Syafii dan Imam Ahmad sebagai sesama alim dan mujtahid maka kita akan mendapati mereka selalu mengakui keutamaan satu sama lainnya. Kata Imam Syafii rahimahullah saya keluar dari Baghdad dan saya tidak melihat Imam Ahmad rahimahullah melainkan orang yang lebih bertakwa, alim, zuhud dan wara' padahal Imam Syafii adalah seorang yang alim juga ahli hadits dan imam ushul fiqh.

Namun perlu diperhatikan adab penuntut ilmu serta pecinta ilmu dan ulama selayaknya mereka tidak memperhadap-hadapkan serta memperlagakan para ulama atau ustadz yang satu dengan yang lainnya. Ini adalah salah satu diantara adab dalam berinteraksi (ta'amul) dengan para ulama, ustadz, dai atau orang yang lebih alim dari kita. Dan salah satu makna yang terkandung dalam hadits dagingnya para ulama beracun. Yang terlarang adalah sifat berlebih-lebihan (ghuluw), fanatik buta(ta'assub) dengan orang yang dikagumi sehingga menghalangi untuk menerima kebenaran dari orang lain.

Semoga Allah Taala senantiasa menjaga para ulama kita dan memperindah akhlak kita dalam bermuamalh dengan mereka.

No comments:

Post a Comment